Seediq adalah penduduk asli Taiwan bisa dibilang aboriginnya Taiwan, bahasa
dari orang-orang seediq ini juga disebut seediq. Orang-orang Seediq ini terdiri
dari 3 komunitas atau kelompok besar, yaitu : Tgdaya, Toda dan Truku. Mereka
mendiami pegunungan Puli di Nantou dan Hualien. Kehidupan orang-orang asli
Taiwan ini akhirnya diangkat menjadi sebuah epic drama sejarah oleh sutradara:
Wei Te-Sheng dan di produksi oleh : John Woo, berdasarkan tahun 1930 terjadi insiden Wushe di Taiwan
Tengah dengan judul “ Seediq Bale :
Warriors of Rainbows” ( Legenda Laskar Pelangi, Seediq Bale). Terbagi
menjadi 2 bagian plot cerita.
Diawali dari Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895, Cina - Han menyerahkan Taiwan
kepada Jepang karena perlawanan terhadap invansi Jepang di Taiwan ini Cina -
Han kalah. Dan para pejabat militer Jepang melihat adanya permasalahan
dalam melakukan ekspansinya di Taiwan dengan adanya hambatan dari orang-orang pribumi
atau penduduk asli Taiwan tersebut. Tim tentara jepang selalu diserang oleh
penduduk asli Taiwan tersebut, serangan tersebut menyebabkan pertempuran antara
jepang dan pribumi termasuk Mona Rudao
(kelompok Tgdaya). Dalam perjalanan untuk berdagang dengan Cina – Han dari
gunung, Mona Rudao juga bermusuhan dengan kelompok Temu Walis (seorang seediq
muda dari kelompok Toda). Jepang akhirnya melarang orang-orang Cina-Han untuk
berbisnis dengan Mona Rudao, mereka juga berkolaborasi dengan sekelompok Bunun
untuk menyergap dan menangkap laki-laki dari kelompok Mona Rudao pada saat
mabuk dan tertidur.
Setelah beberapa kali pertempuran pada tahun 1902-1903, Rudao Luhe ayah dari Mona Rudao
ini terluka. Desa mereka, Mahebu dan desa-desa tetangga berhasil dikuasai dan
dikendalikan oleh Jepang. Dua puluh tahun berlalu, Mahebu dan desa-desa lainnya
dipaksa Jepang untuk menghapuskan kebiasaan menjagal kepala yang mereka buru.
Karena mereka menganut kepercayaan untuk mempersembahkan darah buat roh-roh
leluhur mereka yang menjaga jembatan pelangi. Dan mereka selalu berburu hewan untuk
memenuhi kebutuhan hidup koloninya, tetapi saat mereka berperang, mereka harus
membawa kepala manusia sebagai bukti keperkasaan dan keberanian mereka. Semakin
banyak kepala manusia yang berhasil mereka bawa dan kumpulkan berarti semakin
hebat dan semakin dihormati. Setelah jepang berhasil menguasai daerah mereka
banyak peraturan yang dibuat jepang, salah satunya menghapuskan sistem berburu
kepala manusia tersebut, para pria diharuskan bekerja kepada jepang dengan upah
rendah, yang wanita bekerja dirumah-rumah orang jepang dan menenun tradisional.
Anak-anak mereka yang ingin belajar disediakan sekolah di Wushe, salah seorang
anak yang bersekolah bernama Pawan Nawi.
Para pria dari orang-orang Seediq ini selalu berbelanja di toko kelontong
Cina-Han, untuk membeli obat-obatan, alkohol, dan sake. Karena di toko ini
mereka dapat membeli secara kredit atau berhutang dulu, sehingga mereka senang
berbelanja ditoko ini. Orang-orang seediq ini juga dilarang jepang untuk
mentatto wajah mereka, mereka meyakini bahwa Tatoo sebagai kebutuhan
bagi orang-orang seediq untuk pergi kesisi lain dari “Jembatan Pelangi”
setelah kematian. Ada juga mereka yang muda-muda seperti Obing Nawi, Dakis Nawi, Obing
Tadao dan Dakis Nomin yang coba berasimilasi dengan memakai nama Jepang dan
gaya hidup Jepang serta berusaha, bekerja dan hidup diantara orang
Jepang.
Pada akhir musim gugur 1930, desa Mona Rudao mengadakan pernikahan untuk
pasangan muda. Mona Rudao pergi berburu untuk pernikahan tersebut dan terjadi pertengkaran
untuk wilayah berburu dengan Temu Walis, yang berburu dengan
polisi Jepang Kojima Genji dan anaknya. Pada pernikahan tersebut,
Yoshimura, seorang polisi Jepang yang barupun diangkat, dan bertugas memeriksa
desa. Anak pertama Mona Rudao ini, Tado Mona, menawarkan untuk berbagi nya
millet anggur yg dibuat dengan Yoshimura, tapi Yoshimura menganggap
bir tidak sehat seperti yang difermentasi dengan air liur. Tangan Tado
Mona juga berlumuran darah dari hewan yang baru saja disembelih. Sebuah
pertarungan dengan Tado Mona dan saudaranya Baso Mona terjadi kemudian.
Pertarungan dihentikan, tetapi Yoshimura sangat takut atas kejadian tersebut
dan mengancam untuk menghukum seluruh desa. Laki-laki muda, termasuk Pihu
Sapu dari desa HOGO, melihat hukuman yang tidak dapat diterima dan
mendesak Mona Rudao untuk memulai perang dengan Jepang. Mona Rudao mengatakan
kepada mereka bahwa tidak mungkin untuk menang. Tapi Mona Rudao juga melihat,
perang sangat diperlukan dan memutuskan untuk melawan.
Dalam beberapa hari Mona Rudao menyerukan desa-desa untuk bergabung menggalang
kekuatan dengan para ketua suku yang berjumlah 12 kepala suku, tapi hanya separuh
saja yang setuju menyatakan bersedia untuk melawan Jepang. Mereka menjadwalkan
untuk menyerang Jepang pada tanggal 27 Oktober, ketika Jepang akan menghadiri
pertandingan olahraga (dalam memori Pangeran Kitashirakawa Yoshihisa) dan
berkumpul di halaman sekolah dari bukit Wushe. Para wanita, termasuk putri
pertama Mona Rudao ini, Mahung Mona, tahu orang-orang
berencana untuk berperang dan pastinya banyak korban jiwa yang akan berjatuhan.
Dakis
Nomin, seorang pemuda yang mengadopsi nama Jepang Hanaoka Ichiro dan menjadi
seorang polisi, pemberitahuan bahwa Mona Rudao sedang mempersiapkan
untuk perang. Dia datang ke air terjun dan mencoba membujuk Mona Rudao untuk
tidak memulai perang, Mona Rudao tidak membujuk Dakis Nomin untuk berkolaborasi
dengannya. Setelah Dakis Nomin pergi, Mona Rudao bernyanyi dengan hantu Rudao
Luhe dan menentukan untuk memulai perang. Pada malam sebelumnya, Mahung Mona
mencoba merayu suaminya untuk melanggar aturan sehingga dia tidak bisa pergi
berperang pada hari berikutnya. Penduduk asli menyerang pos-pos polisi. Mona Rudao
kemudian melakukan demonstrasi dan menggerakan semangat pemuda dari desa ke
desa, dan di kepala suku terakhir Tadao Nogan desa HOGO setuju untuk bergabung dengan
Mona Rudao.
Pada tanggal 27 Oktober serangan berlangsung sesuai jadwal. Semua pria
Jepang, wanita dan anak-anak tewas. Pawan Nawi dan anak laki-laki lainnya
membunuh guru Jepang mereka dan keluarganya. Obing Nawi, seorang wanita yang
memakai pakaian Jepang, terhindar hanya karena suaminya Dakis Nomin memakaikan
dirinya dengan kain asli suku seediq. Obing Tadao, yang adalah putri dari kepala Tadao
Nogan dan yang juga memakai pakaian Jepang, bertahan dengan bersembunyi
di ruang penyimpanan. Orang Han yang membuka toko kelontong terhindar dari amuk
masa perang tersebut. Orang pribumi menyerang kantor polisi dan mengambil
senjata. Salah satu petugas polisi Jepang berhasil lolos dan memberitahu dunia
luar tentang serangan itu. Film berakhir dengan Mona Rudao duduk di sekolah
yang penuh dengan tubuh dari para korban peperangan tersebut.
Bersambung
…………............................
http://opinibebasrempong.blogspot.com/2015/07/seediq-bale-laskar-pelangi-taiwan_13.html