Saturday 11 July 2015

Seediq Bale: Laskar Pelangi Taiwan



Seediq adalah penduduk asli Taiwan bisa dibilang aboriginnya Taiwan, bahasa dari orang-orang seediq ini juga disebut seediq. Orang-orang Seediq ini terdiri dari 3 komunitas atau kelompok besar, yaitu : Tgdaya, Toda dan Truku. Mereka mendiami pegunungan Puli di Nantou dan Hualien. Kehidupan orang-orang asli Taiwan ini akhirnya diangkat menjadi sebuah epic drama sejarah oleh sutradara: Wei Te-Sheng dan di produksi oleh : John Woo, berdasarkan  tahun 1930 terjadi insiden Wushe di Taiwan Tengah dengan judul “ Seediq Bale : Warriors of Rainbows” ( Legenda Laskar Pelangi, Seediq Bale). Terbagi menjadi 2 bagian plot cerita.
Diawali dari Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895, Cina - Han menyerahkan Taiwan kepada Jepang karena perlawanan terhadap invansi Jepang di Taiwan ini Cina - Han kalah. Dan para pejabat militer Jepang melihat adanya permasalahan dalam melakukan ekspansinya di Taiwan dengan adanya hambatan dari orang-orang pribumi atau penduduk asli Taiwan tersebut. Tim tentara jepang selalu diserang oleh penduduk asli Taiwan tersebut, serangan tersebut menyebabkan pertempuran antara jepang dan pribumi termasuk Mona Rudao (kelompok Tgdaya). Dalam perjalanan untuk berdagang dengan Cina – Han dari gunung, Mona Rudao juga bermusuhan dengan kelompok Temu Walis (seorang seediq muda dari kelompok Toda). Jepang akhirnya melarang orang-orang Cina-Han untuk berbisnis dengan Mona Rudao, mereka juga berkolaborasi dengan sekelompok Bunun untuk menyergap dan menangkap laki-laki dari kelompok Mona Rudao pada saat mabuk dan tertidur.

Setelah beberapa kali pertempuran pada tahun 1902-1903, Rudao Luhe ayah dari Mona Rudao ini terluka. Desa mereka, Mahebu dan desa-desa tetangga berhasil dikuasai dan dikendalikan oleh Jepang. Dua puluh tahun berlalu, Mahebu dan desa-desa lainnya dipaksa Jepang untuk menghapuskan kebiasaan menjagal kepala yang mereka buru. Karena mereka menganut kepercayaan untuk mempersembahkan darah buat roh-roh leluhur mereka yang menjaga jembatan pelangi. Dan mereka selalu berburu hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup koloninya, tetapi saat mereka berperang, mereka harus membawa kepala manusia sebagai bukti keperkasaan dan keberanian mereka. Semakin banyak kepala manusia yang berhasil mereka bawa dan kumpulkan berarti semakin hebat dan semakin dihormati. Setelah jepang berhasil menguasai daerah mereka banyak peraturan yang dibuat jepang, salah satunya menghapuskan sistem berburu kepala manusia tersebut, para pria diharuskan bekerja kepada jepang dengan upah rendah, yang wanita bekerja dirumah-rumah orang jepang dan menenun tradisional. Anak-anak mereka yang ingin belajar disediakan sekolah di Wushe, salah seorang anak yang bersekolah bernama Pawan Nawi.

Para pria dari orang-orang Seediq ini selalu berbelanja di toko kelontong Cina-Han, untuk membeli obat-obatan, alkohol, dan sake. Karena di toko ini mereka dapat membeli secara kredit atau berhutang dulu, sehingga mereka senang berbelanja ditoko ini. Orang-orang seediq ini juga dilarang jepang untuk mentatto wajah mereka, mereka meyakini bahwa Tatoo sebagai kebutuhan bagi orang-orang seediq untuk pergi kesisi lain dari “Jembatan Pelangi” setelah kematian. Ada juga mereka yang muda-muda seperti Obing Nawi, Dakis Nawi, Obing Tadao dan Dakis Nomin yang coba berasimilasi dengan memakai nama Jepang dan gaya hidup Jepang serta berusaha, bekerja dan hidup diantara orang Jepang.

Pada akhir musim gugur 1930, desa Mona Rudao mengadakan pernikahan untuk pasangan muda. Mona Rudao pergi berburu untuk pernikahan tersebut dan terjadi pertengkaran untuk wilayah berburu dengan Temu Walis, yang berburu dengan polisi Jepang Kojima Genji dan anaknya. Pada pernikahan tersebut, Yoshimura, seorang polisi Jepang yang barupun diangkat, dan bertugas memeriksa desa. Anak pertama Mona Rudao ini, Tado Mona, menawarkan untuk berbagi nya millet anggur yg dibuat dengan Yoshimura, tapi Yoshimura menganggap bir tidak sehat seperti yang difermentasi dengan air liur. Tangan Tado Mona juga berlumuran darah dari hewan yang baru saja disembelih. Sebuah pertarungan dengan Tado Mona dan saudaranya Baso Mona terjadi kemudian. Pertarungan dihentikan, tetapi Yoshimura sangat takut atas kejadian tersebut dan mengancam untuk menghukum seluruh desa. Laki-laki muda, termasuk Pihu Sapu dari desa HOGO, melihat hukuman yang tidak dapat diterima dan mendesak Mona Rudao untuk memulai perang dengan Jepang. Mona Rudao mengatakan kepada mereka bahwa tidak mungkin untuk menang. Tapi Mona Rudao juga melihat, perang sangat diperlukan dan memutuskan untuk melawan.

Dalam beberapa hari Mona Rudao menyerukan desa-desa untuk bergabung menggalang kekuatan dengan para ketua suku yang berjumlah 12 kepala suku, tapi hanya separuh saja yang setuju menyatakan bersedia untuk melawan Jepang. Mereka menjadwalkan untuk menyerang Jepang pada tanggal 27 Oktober, ketika Jepang akan menghadiri pertandingan olahraga (dalam memori Pangeran Kitashirakawa Yoshihisa) dan berkumpul di halaman sekolah dari bukit Wushe. Para wanita, termasuk putri pertama Mona Rudao ini, Mahung Mona, tahu orang-orang berencana untuk berperang dan pastinya banyak korban jiwa yang akan berjatuhan.

Dakis Nomin, seorang pemuda yang mengadopsi nama Jepang Hanaoka Ichiro dan menjadi seorang polisi, pemberitahuan bahwa Mona Rudao sedang mempersiapkan untuk perang. Dia datang ke air terjun dan mencoba membujuk Mona Rudao untuk tidak memulai perang, Mona Rudao tidak membujuk Dakis Nomin untuk berkolaborasi dengannya. Setelah Dakis Nomin pergi, Mona Rudao bernyanyi dengan hantu Rudao Luhe dan menentukan untuk memulai perang. Pada malam sebelumnya, Mahung Mona mencoba merayu suaminya untuk melanggar aturan sehingga dia tidak bisa pergi berperang pada hari berikutnya. Penduduk asli menyerang pos-pos polisi. Mona Rudao kemudian melakukan demonstrasi dan menggerakan semangat pemuda dari desa ke desa, dan di kepala suku terakhir Tadao Nogan desa HOGO setuju untuk bergabung dengan Mona Rudao.

Pada tanggal 27 Oktober serangan berlangsung sesuai jadwal. Semua pria Jepang, wanita dan anak-anak tewas. Pawan Nawi dan anak laki-laki lainnya membunuh guru Jepang mereka dan keluarganya. Obing Nawi, seorang wanita yang memakai pakaian Jepang, terhindar hanya karena suaminya Dakis Nomin memakaikan dirinya dengan kain asli suku seediq. Obing Tadao, yang adalah putri dari kepala Tadao Nogan dan yang juga memakai pakaian Jepang, bertahan dengan bersembunyi di ruang penyimpanan. Orang Han yang membuka toko kelontong terhindar dari amuk masa perang tersebut. Orang pribumi menyerang kantor polisi dan mengambil senjata. Salah satu petugas polisi Jepang berhasil lolos dan memberitahu dunia luar tentang serangan itu. Film berakhir dengan Mona Rudao duduk di sekolah yang penuh dengan tubuh dari para korban peperangan tersebut.